![]() |
Sumber: Pinterest |
Lagi-lagi
postingan tentang sosial media. Karena masih ada lho orang-orang yang bersosial
media dengan belum bijak. Kenapa gw bilang begitu? Karena menurut gw
orang-orang itu adalah sekelompok orang-orang yang belum paham kalau postingan
di sosial media tidak selamanya berkaitan apa yang terjadi di dunia nyata. Gw pernah
posting tentang sosial media adalah lahan subur untuk menebar bibit kebencian. Beberapa
orang ada yang sepakat, karena akhir-akhir ini banyak akun fake yang posting apapun
yang mereka mau, meskipun itu sebenarnya adalah ujaran kebencian. Mereka menggiring
opini orang lain untuk sepemikiran dengan mereka. Tapi ada juga lho orang-orang
yang justru membuat opini mereka sendiri dan pada akhirnya muncul rasa “tidak
nyaman” terhadap seseorang atau kelompok tertentu.
Sosial media
memang diciptakan untuk eksistensi, kita bebas untuk menyebarkan kebahagiaan
ataupun kesedihan dengan alasan tertentu. Tujuannya apa sih? Ya eksistensi. Supaya
orang lain tahu. Tapi menurut gw ada banyak sudut pandang dari setiap postingan
yang kita buat. Mari kita ulas komponennya. Disini gw ambil contoh Instagram ya,
bisa feeds atau story. Dari satu postingan saja, apa sih yang bisa kita share?
- Foto/video/audio
- Tulisan
- Lokasi/waktu
- Moment nya. (dengan mention atau hastag)
Foto
Kita bisa posting foto (doang) tanpa embel-embel apapun.
Bisa? Ya bisa. Boleh? Ya boleh aja.
Tulisan
Pernah gak kalian lihat foto selfie tapi captionnya
kata-kata bijak? Pernah pasti. Bisa? Ya bisa. Boleh? Ya boleh aja.
Lokasi/waktu
Pernah gak sih kalian #latepost misalkan foto
liburan cuma buat sekedar iseng atau #throwback. Posting aah… padahal kalian lagi
ada di kantor. Bisa? Ya bisa. Boleh? Ya boleh aja.
Moment
Pernah gak kalian posting sesuatu cuma buat nunjukin “gw
lagi jalan sama mereka lho” atau “kita kan jarang bisa jalan bareng, share aah…”
kemudian teman kalian yang lain repost?. Tanpa sebut lokasi, tanpa sebut waktunya
kapan, dan tanpa tulisan apapun yang bisa menggiring opini orang lain. Bisa? Ya
bisa. Boleh? Ya boleh aja. Tapi justru ini sih yang bisa bikin bahaya.
Balik lagi
ke awal, bahwa gak semua hal yang kita lihat di sosial media adalah
representasi kehidupan individu in real life. Yah, walaupun ada juga sih yang
begitu, tapi kan gak semua orang punya level eksistensi yang sama. Terkadang kita
cuma mau share moment dengan sahabat-sabahat kita, tapi malah diartikan lain
oleh followers kita.
Misalnya aja
ya, ada orang share foto lagi di TMII anjungan Bali. Dengan caption: Bali
“Ih, sok-soan
foto di Bali padahal di TMII.”
Lah, bener
lah itu emang lagi di Bali, anjungan Bali.
Masa mau tulis: Jawa Tengah?
Yang salah
itu kalau yang posting itu nulisnya: Pulau
Bali. Ini baru pembohongan publik.
Terus misalnya
lagi ada orang share foto lagi di TMII (masih di anjungan bali), tanpa caption
apapun, cuma mention akun Instagram teman-temannya.
“Ih, sok-soan
foto di Bali padahal di TMII.”
Tolong jangan
selalu berpikiran negatif, gak semua orang di dunia ini palsu. Gak semua orang
di dunia ini suka menggiring opini atau menciptakan citra tertentu untuk
dirinya atau kelompoknya. Mungkin dia cuma mau share moment kebahagiaan karena
akhirnya bisa jalan bareng teman-temannya, atau mungkin ini moment pertama dan
terakhir buat mereka bisa jalan bareng dan gak tau lagi kapan bisa jalan-jalan
begitu walaupun cuma ke TMII. Kan kita gak tau ya. Lalu siapa yang justru
sekarang menggiring opini?
Kenapa sih
masih ada yang masih belum sadar soal yang kayak gini?
Menurut gw
ya, karena belum adanya pendidikan usia dini tentang gimana kita bersosial
media. Kita selalu diajarkan tatakrama, sopan santun, kejujuran, prasangaka positif
untuk kehidupan nyata, bukan di sosial media.
“Ada pakde
tuh, cium tangan dulu sana.”
“Ayo ngaku
siapa yang mecahin vas bunga? Jujur!”
“Gak boleh ngomong
gitu sama orang tua.”
Belum ada
ajaran seperti ini:
“Dia cuma
mau share moment aja. Biarin aja uang dia ini..”
“Kalau komen
di postingan orang itu jangan menghujat”
Ya karena
belum ada pelajaran bersosial media (atau mungkin gw yang gak tahu) maka orang-orang
maha benar itu bersosial media dan kemudian menarik kesimpulan hanya
berdasarkan asumsi mereka sendiri. Komen untuk hal yang gak perlu dikomen, kepo
tentang sesuatu yang bukan urusan kita, dan lain sebagainya.
Lalu,
ngapain sih kita berasumsi sendiri dan berusaha untuk menyebarluaskan ke
khalayak yang akhirnya malah jadi dosa buat kita?
Banyak yang
bilang, termasuk gw juga setuju bahwa intensitas pertemanan bukan digambarkan
dengan saling follow di Instagram atau berteman di facebook. Pertemanan yang baik
ya pertemanan yang saling aktif berkomunikasi, dan satu hal yang penting
menurut gw adalah sosial media belum menjadi alat yang ideal untuk
berkomunikasi secara baik.
Sekian. 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar