Kamis, 15 November 2018

Apel Merah, Ideologi Atau Persepsi?


Kalimat pertama ini ditulis pada hari Jumat, 16 November 2018 pukul 12:20 AM. Ya, begadang lagi. Entah kenapa kalau besok cuti itu rasanya agak bebas gitu. Padahal niat cuti karena mau ke Dokter. Migrain gw mulai kambuh lagi nih. Tapi kayaknya gw udah tau deh apa yang bakal dibilang dokter besok. Apa gw gak usah ke dokter aja ya?

Ditengah kepala gw yang rasanya pengen gw copot, gw mau sedikit menuangkan ide, gagasan, coretan, atau tulisan yang sedari sore menghantui kepala gw, yang sukses bikin kepala gw makin pusing. Terlebih waktu gw gosok gigi. Jutaan kalimat puitis seolah-olah ditembakkan ke inti otak gw untuk diolah menjadi coretan sesegera mungkin. Mendesak ingin segera dituntaskan. Inspirasi masing-masing orang datangnya berbeda-beda. Kalau gw sendiri, gw akan punya banyak inspirasi waktu gosok gigi. Gw akan inget pekerjaan di kantor yang belum selesai, gw akan ingat percakapan receh di grup whatsapp, dan lain-lain yang seharusnya gak perlu gw ingat.

Setelah paragraf ini, gw mulai agak serius. Jadi izinkan gw untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik untuk tulisan gw ini. Tapi percaya, ini gak akan bikin kalian pusing sama istilah-istilah ilmiah kayak Supernova 1 kok.

***

Mengedarkan pandangan dan menajamkan indera penciuman adalah hal yang selalu saya lakukan ketika pulang dan melewati supermarket AEON. Saya akan sebisa mungkin berjalan mendekati deretan keranjang apel-apel segar yang ditata begitu cantik dan rapi. Wangi apel menurut saya adalah wangi yang damai. Tidak dominan, namun punya karakter yang khas. Sore ini apel-apel ini membuat sesuatu yang sukses menggelitik indera pengelihatan saya. Apel merah diantara apel hijau.


Sumber: Dok. Pribadi

Mungkin menurut sebagian orang, ini hal yang biasa. Biasa dilakukan pengunjung mall yang batal untuk mengambil apel merah dan diletakkan serampangan, atau apel yang jatuh dan oleh pengunjung baik hati diletakkan kembali namun tidak pada keranjang yang semestinya. Namun dibalik latar belakang yang tidak saya ketahui, apel merah ini sukses memaksa saya memikirkan barisan kata dan bergumam dalam hati memilih diksi yang tepat. Beda ideologi. Kalimat sederhana yang secara spontan distimulus oleh syaraf otak saya. Entah.

Karena?

Menurut saya, ideologi adalah sebuah faham yang membedakan antar umat manusia dalam banyak golongan. Mereka akan mengelompok berdasarkan bangsa, lebih mengerucut lagi, mereka akan berkelompok dengan suku, agama, ras, dan hal-hal lain yang ditanamkan ke dalam diri mereka tanpa mereka sadari. Dua buah ideologi yang saling berdampingan akan membentuk sebuah harmonisasi kehidupan yang menarik. Akan ada dua atau bahkan lebih warna yang tercipta. Warna itulah yang akan membentuk sebuah garis imajiner antar ideologi itu sendiri. Apakah ideologi, atau persepsi?

Sumber: Dok. Pribadi

“Saya Indonesia, kamu bukan.”
“Saya Jawa, kamu bukan.”
“Saya Muslim, kamu bukan.”

Unity in diversity, bahasa lain dari Bhinneka Tunggal Ika sering kita dengar. Perbedaan itu akan menjadi sebuah harmoni kehidupan yang indah apabila saling berdampingan. Perbedaan ada bukan hanya untuk disatukan. Dari sudut pandang lain, perbedaan adalah keunikan. Namun apa jadinya jika satu ideologi hidup sebagai minoritas?

Tanpa kita sadari, kita pernah jadi minoritas dalam berbagai situasi.
Kita berkulit hitam diantara orang-orang berkulit putih.
Kita ranking terbawah diantara orang-orang berprestasi.
Kita orang Jawa diantara orang Sumatera.
Kita memiliki idealisme diantara orang-orang yang lebih suka berkompromi.

Bagaimana mungkin orang yang pernah hidup sebagai kaum minoritas bertindak anarki terhadap kaum minoritas lainnya? Miris memang. Dimana Bhinneka Tunggal Ika itu?

Apel merah ini mengajarkan hal yang baik tentang perbedaan ideologi, apel merah tidak membuat apel hijau menjadi merah, dan apel hijau tidak membuat apel merah sebagai noktah yang merusak estetika. Dari sudut pandang lain, dengan orang yang tepat, apel merah bisa menjadi objek menarik untuk diabadikan dalam sebuah karya seni. Ya, karena menurut sudut pandang saya pribadi, perbedaan ideologi ini adalah sebuah seni. Karena tidak ada kertas putih menjadi bernilai seni jika tidak ditumpahi cat beraneka warna.


Ideologi yang berbeda juga bukan jeruji untuk membatasi aktualisasi. Ia akan menjadi pondasi atau bahkan petunjuk untuk berpijak lebih jauh, lebih tinggi. Selama kita menghargai ideologi yang lain dan dapat hidup membaur dengan khalayak, tidak ada alasan untuk hidup dalam kepura-puraan. Kita akan ada jika kita menganggap orang lain ada.


“Hey, kamu. Jangan berdiri disitu, itu bahaya.”
“Saya percaya pada pegangan ini, ini tidak membuat saya jatuh.”
“Saya bilang disitu bahaya, pergilah dari situ.”
“Sudah saya katakan saya percaya pada pegangan ini, pegangan ini kuat.”
“Bodoh kamu.”
“Terima kasih sudah mengingatkan, dan terima kasih atas pujiannya.”


***

Jumat, 16 November 2018. 09:23 AM
Kamu lebih suka Apel merah, atau Apel hijau?
Posted in:   |  
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar