Senin, 19 November 2018

Saat Langit Bekerja

Sumber: Dok. Pribadi

Masuk musim penghujan, sedia payung sebelum hujan. Untuk pengguna jasa ojek online, sedia jas hujan sebelum hujan. Karena tidak semua driver ojol menyediakan jas hujan ekstra untuk dipinjamkan ke penumpangnya. Meskipun BMKG selelu merilis prakiraan cuaca, dan kita juga dapat melihat prakiraan cuaca dari layer ponsel pintar kita, namun semua itu hanyalah prediksi yang dibuat manusia. Dioleh dengan metode tertentu dari penerapan bidang keilmuan yang relevan, namun tetap saja ada taraf kesalahan dalam sebuah penelitian. Bawalah jas hujan sebelum kehujanan. Karena kita tidak tahu kapan Tuhan akan mengizinkan langit menunjukan performa terbaiknya.

Pernahkan kalian diguyur hujan tiba-tiba setelah baru menempuh perjananan beberapa ratus meter dari titik pemberangkatan?

Inilah yang kemarin gw alami.

Senin, 19 November 2018.

Bagi kalian yang tinggal atau kerja di daeran BSD, pasti tahu dengan AEON Mall. Untuk mencapai AEON Mall, kita bisa menggunakan KRL dan lanjut dengan gojek. Hari itu, gw pulang dari AEON menuju stasiun Rawa Buntu. Sampai Mcd, hujan turun tiba-tiba begitu derasnya. Dan seketika gw basah kuyup (basah kuyup dalam makna yang sebenarnya). Gw agak sedikit lega ketika abang gojek gw bilang: “ke pinggir dulu yang bang, pakai jas hujan dulu.”

Ekspektasi hanyalah eskpektasi belaka. Dia hanya memakai jas hujan untuk dirinya sendiri, tidak ada jas hujan esktra untuk gw. Dan dia dengan santainya bilang: “yuk, Lanjut.”

Dimana pikiran lu bang??

Dengan kondisi yang menyedihkan karena gw udah basah ampe ‘dalem-dalem’ akhirnya gw memutuskan untuk kembali ke AEON, berharap gw bisa memikirkan langkah gw selanjutnya di tempat yang teduh. Yah, walaupun gw juga tidak 100% yakin kalau gw masih cukup punya nyali menjadi pusat perhatian sebagai pengunjung yang habis kecebur.

Singkat cerita, gw kembali ke AEON dan menyuruh sang driver untuk menyelesaikan tugasnya di aplikasi. Tidak ada yang menyalahkan siapapun. Saat itu gw hanya mengutuk diri gw sendiri karena tidak segera pulang.

Kalau saja gw tidak memberekan meja dulu.
Kalau saja hari ini gw ikut mobil feeder.
Kalau saja gw gak jajan di supermarket dulu.
Kalau saja gw gak ke ATM dulu.
Kalau saja..
Kalau saja..
Dan berbagai pengandaian lainnya.
Pengandaian gw punya adalah kalimat penyesalan yang tidak dapat mengubah apapun saat itu. Padahal orang bijak selalu mengatakan bahwa ada hikmah dari setiap peristiwa.

Kalau saja pesanan olshop gw tidak datang terlambat, mungkin gw akan kesusahan mencari baju dan celana ganti. Karena pesanan olshop gw baru sampai siang itu, gw bersyukur gw bisa langsung ganti baju dan celana yang kering.

Kalau saja gw bukan karyawan AEON Store, mungkin gw akan menanggung malu masuk ke dalam mall untuk mencari toilet dan ganti baju disana. Beruntunglah karena gw karyawan AEON Store, jadi gw bisa banti baju di toilet karyawan tanpa harus masuk mall terlebih dahulu.

Kalau saja gw tidak meninggalkan sandal jepit di kantor, mungkin gw akan pulang dengan sepatu basah berisi air hujan, atau gw harus beli lagi sandal baru.

Kalau saja teman gw tidak lembur, mungkin gw harus menunggu hujan sambal berkeliaran di mall.

Kalau saja gw tidak kehujanan, mungkin gw tidak akan bersedekah karena gw membiarkan abang gojek menyelesaikan perjalannannya tanpa megantar gw ke tempat tujuan.

Kalau saja gw tidak kehujanan, mungkin gw lupa untuk bersyukur.

***

😊


Kamis, 15 November 2018

Apel Merah, Ideologi Atau Persepsi?


Kalimat pertama ini ditulis pada hari Jumat, 16 November 2018 pukul 12:20 AM. Ya, begadang lagi. Entah kenapa kalau besok cuti itu rasanya agak bebas gitu. Padahal niat cuti karena mau ke Dokter. Migrain gw mulai kambuh lagi nih. Tapi kayaknya gw udah tau deh apa yang bakal dibilang dokter besok. Apa gw gak usah ke dokter aja ya?

Ditengah kepala gw yang rasanya pengen gw copot, gw mau sedikit menuangkan ide, gagasan, coretan, atau tulisan yang sedari sore menghantui kepala gw, yang sukses bikin kepala gw makin pusing. Terlebih waktu gw gosok gigi. Jutaan kalimat puitis seolah-olah ditembakkan ke inti otak gw untuk diolah menjadi coretan sesegera mungkin. Mendesak ingin segera dituntaskan. Inspirasi masing-masing orang datangnya berbeda-beda. Kalau gw sendiri, gw akan punya banyak inspirasi waktu gosok gigi. Gw akan inget pekerjaan di kantor yang belum selesai, gw akan ingat percakapan receh di grup whatsapp, dan lain-lain yang seharusnya gak perlu gw ingat.

Setelah paragraf ini, gw mulai agak serius. Jadi izinkan gw untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik untuk tulisan gw ini. Tapi percaya, ini gak akan bikin kalian pusing sama istilah-istilah ilmiah kayak Supernova 1 kok.

***

Mengedarkan pandangan dan menajamkan indera penciuman adalah hal yang selalu saya lakukan ketika pulang dan melewati supermarket AEON. Saya akan sebisa mungkin berjalan mendekati deretan keranjang apel-apel segar yang ditata begitu cantik dan rapi. Wangi apel menurut saya adalah wangi yang damai. Tidak dominan, namun punya karakter yang khas. Sore ini apel-apel ini membuat sesuatu yang sukses menggelitik indera pengelihatan saya. Apel merah diantara apel hijau.


Sumber: Dok. Pribadi

Mungkin menurut sebagian orang, ini hal yang biasa. Biasa dilakukan pengunjung mall yang batal untuk mengambil apel merah dan diletakkan serampangan, atau apel yang jatuh dan oleh pengunjung baik hati diletakkan kembali namun tidak pada keranjang yang semestinya. Namun dibalik latar belakang yang tidak saya ketahui, apel merah ini sukses memaksa saya memikirkan barisan kata dan bergumam dalam hati memilih diksi yang tepat. Beda ideologi. Kalimat sederhana yang secara spontan distimulus oleh syaraf otak saya. Entah.

Karena?

Menurut saya, ideologi adalah sebuah faham yang membedakan antar umat manusia dalam banyak golongan. Mereka akan mengelompok berdasarkan bangsa, lebih mengerucut lagi, mereka akan berkelompok dengan suku, agama, ras, dan hal-hal lain yang ditanamkan ke dalam diri mereka tanpa mereka sadari. Dua buah ideologi yang saling berdampingan akan membentuk sebuah harmonisasi kehidupan yang menarik. Akan ada dua atau bahkan lebih warna yang tercipta. Warna itulah yang akan membentuk sebuah garis imajiner antar ideologi itu sendiri. Apakah ideologi, atau persepsi?

Sumber: Dok. Pribadi

“Saya Indonesia, kamu bukan.”
“Saya Jawa, kamu bukan.”
“Saya Muslim, kamu bukan.”

Unity in diversity, bahasa lain dari Bhinneka Tunggal Ika sering kita dengar. Perbedaan itu akan menjadi sebuah harmoni kehidupan yang indah apabila saling berdampingan. Perbedaan ada bukan hanya untuk disatukan. Dari sudut pandang lain, perbedaan adalah keunikan. Namun apa jadinya jika satu ideologi hidup sebagai minoritas?

Tanpa kita sadari, kita pernah jadi minoritas dalam berbagai situasi.
Kita berkulit hitam diantara orang-orang berkulit putih.
Kita ranking terbawah diantara orang-orang berprestasi.
Kita orang Jawa diantara orang Sumatera.
Kita memiliki idealisme diantara orang-orang yang lebih suka berkompromi.

Bagaimana mungkin orang yang pernah hidup sebagai kaum minoritas bertindak anarki terhadap kaum minoritas lainnya? Miris memang. Dimana Bhinneka Tunggal Ika itu?

Apel merah ini mengajarkan hal yang baik tentang perbedaan ideologi, apel merah tidak membuat apel hijau menjadi merah, dan apel hijau tidak membuat apel merah sebagai noktah yang merusak estetika. Dari sudut pandang lain, dengan orang yang tepat, apel merah bisa menjadi objek menarik untuk diabadikan dalam sebuah karya seni. Ya, karena menurut sudut pandang saya pribadi, perbedaan ideologi ini adalah sebuah seni. Karena tidak ada kertas putih menjadi bernilai seni jika tidak ditumpahi cat beraneka warna.


Ideologi yang berbeda juga bukan jeruji untuk membatasi aktualisasi. Ia akan menjadi pondasi atau bahkan petunjuk untuk berpijak lebih jauh, lebih tinggi. Selama kita menghargai ideologi yang lain dan dapat hidup membaur dengan khalayak, tidak ada alasan untuk hidup dalam kepura-puraan. Kita akan ada jika kita menganggap orang lain ada.


“Hey, kamu. Jangan berdiri disitu, itu bahaya.”
“Saya percaya pada pegangan ini, ini tidak membuat saya jatuh.”
“Saya bilang disitu bahaya, pergilah dari situ.”
“Sudah saya katakan saya percaya pada pegangan ini, pegangan ini kuat.”
“Bodoh kamu.”
“Terima kasih sudah mengingatkan, dan terima kasih atas pujiannya.”


***

Jumat, 16 November 2018. 09:23 AM
Kamu lebih suka Apel merah, atau Apel hijau?

Sabtu, 10 November 2018

BERTANYA PADA GOOGLE


Dunia yang terus berkembang memaksa kita untuk bersosialisasi lebih luas lagi. Berbicara soal media sosial, akan ada hal menarik untuk dibahas. Seperti halnya kita melihat ke dalam akuarium raksasa yang berisi beranekaragam biota di dalamnya. Mereka bercengkrama, jatuh cinta, atau bahkan saling hina.

Suatu ketika saat gw asik membaca komentar di salah satu portal berita, ada seseorang yang menuliskan sebuah pertanyaan dan kemudian dijawab oleh user yang lainnya: “tanya aja sama google”. Kemudian perdebatan demi perdebatan tak terelakkan lagi. Bahasa kasar dan nama-nama hewan tak berdosa juga ikut terbawa.



Orang tua gw pernah berkata saat gw masih sekolah. “Belajar itu dari siapa aja. Bisa dari buku, dari teman, atau dari lingkungan. Tapi jangan lupa bahwa kita juga butuh guru untuk ‘meluruskan’ pandangan kita tentang ilmu baru yang kita punya.” Intinya apa? intinya kita masih butuh orang yang lebih mengerti di bidangnya.  

Dewasa ini, google seakan jendela dunia untuk kita mencari berbagai macam hal. Gw bisa bilang kalau google ini adalah versi makro dari sosial media yang biasa kita buka. Kita bisa mendapatkan apapun yang kita inginkan. Jutaan orang bebas berkarya. Jutaan orang pula bebas untuk beropini. Jutaan postingan bisa kita temukan dengan satu kata kunci. Namun dari jutaan postingan itu apakah semuanya adalah informasi yang kita butuhkan?

Well, terkadang kita hanya ingin tahu sesuatu secara sederhana, yang respon kita setelahnya hanya: “oh, gitu.”

Cara sederhana untuk mendapatkan informasi itu menurut gw ya bertanya kepada orang yang bersedia untuk ditanya, dan orang yang tahu jawabannya. Masalahnya adalah, tidak semua orang mempunyai kriteria tersebut.

Saat kita mendapatkan respon: “tanya aja sama google” ya jangan baper. Mari kita kerpikir, mungkin pertanyaan kita memang pertanyaan sederhana yang jawabannya abslolut, hanya saja kita yang malas untuk mencari. Jujur, memang agak kesal sih jika kita ditanya tentang sesuatu yang sebenarnya bisa dicari jawabannya di google. Contohnya saja, pertanyaannya: dimana ibukota Jepang?. Ya pasti jawabannya Tokyo kan. Gak mungkin pindah ke Palembang atau Semarang. Hal-hal seperti ini yang gw bilang pertanyaan yang jawabannya absolut.

Tapi… yasudah lah ya.

Dari sisi orang yang ditanya juga tidak ada salahnya kok untuk menjawab. Bukannya kita juga pernah bertanya ke teman kita, alih-alih bertanya ke google.

Menurut gw untuk memberikan edukasi kepada orang lain untuk usaha mencari tahu sendiri perlu pendekatan dan sugesti yang baik. Kita tidak bisa mengubah sikap seseorang dengan bahasa yang kasar. Berikan jawaban yang sopan, karena tidak ada orang yang bersedia untuk diujar dengan sarkas. Mungkin akan lebih damai jika kondisinya seperti ini:

T: Dimana ibukota Jepang?
J: Tokyo. Tapi coba cek google. Siapa tau udah pindah.

Kembali lagi ke pribadi masing-masing. Dari sisi penanya, jadilah penanya yang cerdas. Carilah informasi yang kalian butuhkan sebelum bertanya. Contohlah pembaca komik tahilalats, karena sebelum bertanya, mereka selalu mencari jawabannya ke kolom komentar. Dari sisi yang ditanya, tidak ada salahnya kok kalian jawab kalau memang tahu jawabannya. Tahanlah diri kalian untuk meciptakan suasana tidak nyaman. Ingat, diam adalah emas. Kalau kalian tidak ingin menjawab dan tidak mampu menjaga ibu jari kalian untuk mengetik hal yang baik-baik, cukup abaikan. Berarti pertanyaan itu bukan untuk kalian. Masih banyak orang berhati baik yang memiliki kriteria yang gw sebutkan. Apa itu?

Bersedia untuk ditanya, dan tahu jawabannya.

Hidup ini banyak pilihan. Sama seperti pilihan kalian untuk bertahan hidup atau mati bunuh diri. Jadi orang baik atau orang jahat. Jadi netizen budiman, atau netizen pencari perhatian. Jangan dibikin ribet.