Selasa, 11 September 2018

Media Sosial, Lahan Subur Untuk Menebar Bibit Kebencian


Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi web, dan menungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. (Wikipedia)

Media sosial adalah media dalam jaringan dimana para penggunanya bisa mudah berbagi konten atau meciptakan sebuah karya tertentu. Media sosial menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat urban di era sekarang. Namun menurut saya pribadi, media sosial masa kini telah mengalami pergeseran fungsi (atau mungkin penambahan fungsi) dari definisi yang dikemukakan oleh Andreas Kaplan dan Michael Haenlein di atas. Media sosial telah keluar dari dasar ideologi platform itu sendiri. Jika dilihat dari perkembangan media sosial yang kita ketahui, sebut saja blogger yang lahir pada tahun 1999, kemudian muncul Friendster di tahun 2002, sampai pada era facebook, twitter, dan Instagram yang masih eksis hingga saat ini. Saya meralat opini saya sebelumnya, karena tidak adil jika kita mempersalahkan media sosial atas pergeseran ideologi mereka yang terjadi saat ini. Mungkin lebih tepatnya saya mengakatan bahwa para pengguna media sosial yang telah merubah ideologi dari platform yang mereka gunakan.

Media sosial saat ini yang saya tahu tidak hanya sebagai sebuah media komunikasi, sebuah wadah yang berisi pertukaran karya, atau informasi sarat makna, namun fungsinya telah “bertambah” sebagai media propaganda, lahan subur untuk menyebarkan bibit-bibit kebencian, dan ruang bebas untuk melancarkan tindakan cyber bullying. Saya yakin tujuan diciptakannya media sosial adalah untuk hal-hal yang baik, untuk bersosialisasi. Menemukan orang-orang dengan minat yang sama di seluruh belahan dunia dan menciptakan dunia tanpa batas untuk bertukar karya dan informasi.

Sempat muncul berita tentang pemblokiran aplikasi Telegram yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi karena dianggap digunakan sebagai media propaganda terorisme, karena telegram merupakan aplikasi pesan singkat yang memiliki enkripsi yang sangat sulit sehingga tidak dapat dipantau oleh aparat pemerintah. Namun pada akhirnya pendiri Telegram bersedia untuk bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam komitmen untuk menghentikan propaganda terorisme. Hal ini salah satu bukti adanya pergerseran ideologi yang diciptakan oleh pengguna media sosial.

Instagram adalah media sosial yang sedang popular saat ini. Instagram digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkat Pendidikan. Namun yang agak disayangkan adalah atmosfir dalam ber-instagram saat ini sangat jauh dengan atmosfir ber-instagram beberapa tahun yang lalu. Kita tidak hanya melihat sista-sista berjualan dengan spam komen “cek ig kita sist” yang sempat menjadi trending pada masanya, namun kita saat ini juga mudah menemukan komentar-komentar disertai dengan umpatan-umpatan kasar dan kadang mengikutsertakan nama hewan tertentu yang menjadi sahabat manusia.


Agak disayangkan memang, warga negara Indonesia yang dikenal dengan keramahtamahannya dan sopan santunnya kini terlihat amat “buas” bertutur kata di media sosial. Mereka bebas berkomentar, mereka bebas beropini dengan dalih kebebasan berpendapat tanpa berpikir panjang apakah komentar yang mereka keluarkan adalah sesuatu hal yang pantas untuk mereka utarakan. Kita tidak berbicara mengenai penghinaan terhadap presiden yang terlihat seperti hal yang wajar saat ini. Padahal penghinaan terhadap kepala negara adalah perbuatan melanggar hukum, karena tertuang dalam undang-undang. Namun kita berbicara tentang jemari lentik netizen yang begitu gatal menulis komentar tanpa dasar yang jelas, tanpa bisa membedakan mana opini, kritik, maupun bully.

Saya teringat wawancara Najwa Shihab dengan penyanyi Anggun. Mbak Anggun mengatakan bahwa “di Indonesia, kritik, menghina, mencaci maki, membully, semuanya dimasukan dalam satu tas yang disebut kritik”. Saya setuju dengan pendapat tersebut, karena terlalu bebasnya seseorang untuk berpendapat maka kritik membangun yang kritik yang mengarah kepada ujaran kebencian menjadi bias dan sulit untuk mereka bedakan. Pada akhirnya mereka beradu argumen sampai berkata-kata kasar untuk mempertahankan pendapat mereka yang mereka anggap sebagai kritik yang positif padahal pendapat atau komentar mereka hanyalah opini tidak berdasar, dimana kita atau figur yang mereka kritikpun tidak membutuhkan itu.

“kalian tidak kenal mereka secara personal, kalian juga tidak tahu kehidupan mereka sehari hari. Sama halnya mereka yang tidak kenal siapa kalian dan tidak punya hutang apapun kepada kalian. Lalu apa hak kalian membully mereka?”

Satu fakta yang pernah saya temui bahwa sebagian pelaku komentar tidak pantas di Instagram adalah anak di bawah umur, dilihat dari seragamnya yang masih merah-putih. Saya tidak tahu apakah itu akun dia yang asli atau bukan, namun tidak menutup kemungkinan karena banyak anak di bawah umur di lingkungan saya yang sudah mempunyai akun instagram. Sungguh disayangkan jika anak-anak seumur mereka sudah tercemar polusi negatif dari media sosial.

Saya mempunyai hobby yang baru, yaitu me-report akun-akun propaganda yang komentarnya menurut saya sudah melewati batas. Mereka berdalih atas kebebasan berpendapat, namun saya juga memiliki hak untuk menikmati suasana sehat tanpa muatan komentar negatif dari konten yang saya lihat di Instagram saya. Untungnya pihak Instagram sependapat dengan saya.
 
Sumber: Dok. Pribadi
Lebih luas lagi, jika kita sedikit merenung tentang kejadian hari ini yang akan menjadi sejarah. Mohammad Hatta mendefinisikan sejarah tidak sekedar kejadian masa lampau, tetapi pemahaman masa lampau yang di dalamnya mengandung berbagai dinamika. Bisakah anda bayangkan, jika pemahaman masa kini soal pembiaran komentar negatif dan ujaran kebencian menjadi contoh bagi pola fikir generasi di masa mendatang?

Apakah maksudnya berpendapat itu dilarang?
Tentunya tidak. Negara kita menjamin kebebasan dalam berpendapat di muka umum. Namun kita harus membentengi diri kita untuk berpendapat sesuai norma yang berlaku di masyarakat. Kita harus bisa membedakan mana pendapat yang positif, mana pendapat yang megarah ke tindakan bullying.

Lalu apakah kita tidak boleh berkomentar negatif?
Jika memang yang kita lihat adalah sesuatu hal yang negatif, kita berhak untuk memberikan penilaian untuk kebaikan bersama. Berkomentarlah sesuai konteksnya, berkomentar seperlunya dan gunakan etika. Namun perlu diingat bahwa tidak semua hal harus sejalan dengan keinginan kita.

Kita mungkin tidak dapat mengubah dunia, namun kita mampu untuk mengubah diri kita agar memiliki rasa empati, rasa untuk menghargai pendapat orang lain dan menyadarkan kembali tentang etika dalam bersosialisasi walaupun hanya di dunia maya. Saya yakin bangsa kita akan jauh lebih hebat jika rakyatnya bersatu dalam hal yang positif dan meninggalkan egoisme mereka untuk menjatuhkan pihak tertentu demi kepentingan golongannya.

Terima kasih

Posted in:   |  
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar