Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial
sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar
ideologi dan teknologi web, dan menungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated
content. (Wikipedia)
Media sosial adalah media dalam jaringan dimana para penggunanya bisa mudah
berbagi konten atau meciptakan sebuah karya tertentu. Media sosial menjadi hal
yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat urban di era sekarang. Namun menurut
saya pribadi, media sosial masa kini telah mengalami pergeseran fungsi (atau
mungkin penambahan fungsi) dari definisi yang dikemukakan oleh Andreas Kaplan
dan Michael Haenlein di atas. Media sosial telah keluar dari dasar ideologi platform itu sendiri. Jika dilihat dari
perkembangan media sosial yang kita ketahui, sebut saja blogger yang lahir pada
tahun 1999, kemudian muncul Friendster di tahun 2002, sampai pada era facebook,
twitter, dan Instagram yang masih eksis hingga saat ini. Saya meralat opini
saya sebelumnya, karena tidak adil jika kita mempersalahkan media sosial atas
pergeseran ideologi mereka yang terjadi saat ini. Mungkin lebih tepatnya saya
mengakatan bahwa para pengguna media sosial yang telah merubah ideologi dari platform yang mereka gunakan.
Media sosial saat ini yang saya tahu tidak hanya sebagai sebuah media
komunikasi, sebuah wadah yang berisi pertukaran karya, atau informasi sarat
makna, namun fungsinya telah “bertambah” sebagai media propaganda, lahan subur
untuk menyebarkan bibit-bibit kebencian, dan ruang bebas untuk melancarkan
tindakan cyber bullying. Saya yakin tujuan
diciptakannya media sosial adalah untuk hal-hal yang baik, untuk
bersosialisasi. Menemukan orang-orang dengan minat yang sama di seluruh belahan
dunia dan menciptakan dunia tanpa batas untuk bertukar karya dan informasi.
Sempat muncul berita tentang pemblokiran aplikasi Telegram yang
dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi karena dianggap digunakan
sebagai media propaganda terorisme, karena telegram merupakan aplikasi pesan
singkat yang memiliki enkripsi yang sangat sulit sehingga tidak dapat dipantau
oleh aparat pemerintah. Namun pada akhirnya pendiri Telegram bersedia untuk
bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam komitmen untuk menghentikan
propaganda terorisme. Hal ini salah satu bukti adanya pergerseran ideologi yang
diciptakan oleh pengguna media sosial.
Instagram adalah media sosial yang sedang popular saat ini. Instagram digunakan
oleh seluruh kalangan masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkat Pendidikan. Namun
yang agak disayangkan adalah atmosfir dalam ber-instagram saat ini sangat jauh
dengan atmosfir ber-instagram beberapa tahun yang lalu. Kita tidak hanya
melihat sista-sista berjualan dengan spam komen “cek ig kita sist” yang sempat
menjadi trending pada masanya, namun kita saat ini juga mudah menemukan
komentar-komentar disertai dengan umpatan-umpatan kasar dan kadang
mengikutsertakan nama hewan tertentu yang menjadi sahabat manusia.
Agak disayangkan memang, warga negara Indonesia yang dikenal dengan
keramahtamahannya dan sopan santunnya kini terlihat amat “buas” bertutur kata di
media sosial. Mereka bebas berkomentar, mereka bebas beropini dengan dalih
kebebasan berpendapat tanpa berpikir panjang apakah komentar yang mereka keluarkan
adalah sesuatu hal yang pantas untuk mereka utarakan. Kita tidak berbicara
mengenai penghinaan terhadap presiden yang terlihat seperti hal yang wajar saat
ini. Padahal penghinaan terhadap kepala negara adalah perbuatan melanggar hukum,
karena tertuang dalam undang-undang. Namun kita berbicara tentang jemari lentik
netizen yang begitu gatal menulis komentar tanpa dasar yang jelas, tanpa bisa membedakan
mana opini, kritik, maupun bully.
Saya teringat wawancara Najwa Shihab dengan penyanyi Anggun. Mbak Anggun
mengatakan bahwa “di Indonesia, kritik, menghina, mencaci maki, membully,
semuanya dimasukan dalam satu tas yang disebut kritik”. Saya setuju dengan pendapat
tersebut, karena terlalu bebasnya seseorang untuk berpendapat maka kritik membangun
yang kritik yang mengarah kepada ujaran kebencian menjadi bias dan sulit untuk mereka
bedakan. Pada akhirnya mereka beradu argumen sampai berkata-kata kasar untuk mempertahankan
pendapat mereka yang mereka anggap sebagai kritik yang positif padahal pendapat
atau komentar mereka hanyalah opini tidak berdasar, dimana kita atau figur yang
mereka kritikpun tidak membutuhkan itu.
“kalian tidak kenal mereka secara
personal, kalian juga tidak tahu kehidupan mereka sehari hari. Sama halnya
mereka yang tidak kenal siapa kalian dan tidak punya hutang apapun kepada
kalian. Lalu apa hak kalian membully mereka?”
Satu fakta yang pernah saya temui bahwa sebagian pelaku komentar tidak
pantas di Instagram adalah anak di bawah umur, dilihat dari seragamnya yang masih
merah-putih. Saya tidak tahu apakah itu akun dia yang asli atau bukan, namun tidak
menutup kemungkinan karena banyak anak di bawah umur di lingkungan saya yang
sudah mempunyai akun instagram. Sungguh disayangkan jika anak-anak seumur mereka
sudah tercemar polusi negatif dari media sosial.
Saya mempunyai hobby yang baru, yaitu me-report akun-akun propaganda
yang komentarnya menurut saya sudah melewati batas. Mereka berdalih atas
kebebasan berpendapat, namun saya juga memiliki hak untuk menikmati suasana
sehat tanpa muatan komentar negatif dari konten yang saya lihat di Instagram saya.
Untungnya pihak Instagram sependapat dengan saya.
Lebih luas lagi, jika kita sedikit merenung tentang kejadian hari ini yang akan menjadi sejarah. Mohammad Hatta
mendefinisikan sejarah tidak sekedar kejadian masa lampau, tetapi pemahaman masa lampau yang di dalamnya
mengandung berbagai dinamika. Bisakah anda bayangkan, jika pemahaman masa kini
soal pembiaran komentar negatif dan ujaran kebencian menjadi contoh bagi pola
fikir generasi di masa mendatang?
Apakah maksudnya berpendapat itu dilarang?
Tentunya tidak. Negara kita menjamin kebebasan dalam berpendapat di muka
umum. Namun kita harus membentengi diri kita untuk berpendapat sesuai norma
yang berlaku di masyarakat. Kita harus bisa membedakan mana pendapat yang positif,
mana pendapat yang megarah ke tindakan bullying.
Lalu apakah kita tidak boleh berkomentar negatif?
Jika memang yang kita lihat adalah sesuatu hal yang negatif, kita berhak
untuk memberikan penilaian untuk kebaikan bersama. Berkomentarlah sesuai konteksnya, berkomentar seperlunya dan gunakan etika. Namun perlu diingat bahwa
tidak semua hal harus sejalan dengan keinginan kita.
Kita mungkin tidak dapat mengubah dunia, namun kita mampu untuk mengubah
diri kita agar memiliki rasa empati, rasa untuk menghargai pendapat orang lain
dan menyadarkan kembali tentang etika dalam bersosialisasi walaupun hanya di dunia
maya. Saya yakin bangsa kita akan jauh lebih hebat jika rakyatnya bersatu dalam
hal yang positif dan meninggalkan egoisme mereka untuk menjatuhkan pihak
tertentu demi kepentingan golongannya.
Terima kasih